Sabtu, 24 September 2011

Macam-macam Kekafiran

Merujuk ke berbagai ayat maupun hadits, disimpulkan bahwa kekafiran terbagi kepada dua bagian, yaitu kufrun I''tiqaadi dan kufrun ''amali. Pertama, "kurfrun I''tikaadi" adalah penyembunyian atau pengingkaran dalam hal keimanan (akidah) terhadapa kebenaran yang datang dari Allah. Inilah yang diungkapkan misalnya oleh Allah di S. Albaqarah: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir adalah sama bagi mereka, apakah kamu memberikan petunjuk kepada mereka atau tidak, mereka tidak akan beriman" (Al Baqarah:6). Mereka memang secara imani atau I''tikadi menyembunyikan apa yang sesungguhnya sesuai dengan fitrah atau nurani (mungkin diistilahkan hati kecil)nya itu sendiri. Pengingkaran tersebut dapat dirasakan oleh mereka sendiri, atau memang tidak dirasakan sebagai suatu pengingkaran. Para pembesar qurays ketika itu sadar dan bahkan dalam hati kecilnya insaf (mengakui kebenaran) yang dibawa Muhammad SAW. Namun karena "gengsi" yang disebabkan oleh "kesombongan" mereka terpaksan mengatakan "tidak". Sebaliknya, Fir''aun betul-betul tidak menyadari lagi "nurani"nya saat itu. Ini disebabkan karena "fitrah" yang bersemayam dalam hatinya itu telah terkungkung oleh jiwa keangkuhan yang berlebihan. Sehingga ketika Musa dan harun datang kepadanya, mengajaknya kepada penyembahan Ilahi, ia berkata: "Wa maa rabbukuma ya muusa wa haaruun" (Siapa sih Tuhanmu wahai Musa dan harun?" Namun ketidak sadaran Fir''aun itu menjadi alam kesadaran pada saat jiwa kesombongannya mencair oleh situasi alam sekitarnya. Pada saat ia tenggelam di laut merah, tak seorang pun yang mampu menolongnya, termasuk dirinya sendiri walau mengaku tuhan, ia pun menjerit dan berucap: "Al aana amantu birabbil ''alamiin, Rabbi Musa wa harun" (Sekarang saya beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhannya Musa dan harun". Ia mengakui Allah, walaupun masih dengan ungkapan kesombongan, seolah Allah hanya Tuhannya Musa dan Harun saja. Kelompok lain dari kategori kufur pertama ini adalah mereka yang hipokrit (munafik). Mereka, kendati memperlihatkan amalan-amalan imani dan islami, namun secara imani atau I''tikadi menolak kebenaran tersebut. Kelompok manusia seperti ini, jika ditinjau dari sudut pandang strategi perjuangan justeru lebih berbahaya. Oleh sebab itu, wajar saja jika S. Albaqarah yang turun dalam konteks perjuangan Rasulullah SAW menegakkan "Islamic Society" secara panjang lebar menceritakan kriteri mereka ini. Kedua, "kufrun ''amali" adalah menyembunyikan kebenaran dalam perbuatan, tapi secara imani menerimanya sebagai kebenaran. Oleh para ulama, disimpulkan bahwa siapa saja yang pernah mengucapkan "kalimah Thayyibah" (Laa ilaaha Illallah-Muhammadan rasulullah) dengan ikhlas, sungguh-sungguh dalam pengucapannya, lalu kemudian terjerumus dalam perilaku yang bertentangan dengan ucapannya itu, maka ia masuk dalam kategori "Kufrun ''amali". Namun dengan satu catatan bahwa keterjerumusannya dalam suatu tindakan yang bertentangan dengan islam tidaklah menyentuh daerah keyakinannya. Sebagai misal, di dalam ayat disebutkan bahwa: "Waman yaqtul Mu''minan muta''ammidan, fajazaauhu jahannam khaalidanÉdst" (An Nisa: 93) Artinya: "Barangsiapa yang membunuh mu''min dengan sengaja maka balasannya adalah jahannam, kekal di dalamnya dstÉ". Konteks ayat di atas adalah pembicaraan mengenai hukum-hukum hubungan antar Muslim. Dengan demikian, yang dimaksud pembunuh pada ayat itu adalah Muslim. Masalahnya adalah apakah makna dari kekal dalam jahannam? Bukankah dalam haditsnya, Rasulullah SAW pernah mensabdakan: "Man Qaala Laa ilaah illaLLah Mukhlisan min qalbih dakhalal Jannah" (Siapa yang mengucapkan Laa ilaah illallah ikhlas dari hatinya, akan masuk ke dalam Syurga). Lalu bagaimana seorang yang membunuh sesama Muslim tapi pernah mengucapkannya dengan ikhlas? Apakah arti mengucapkan Laa ilaah illallah dengan ikhlas menytransfer manusia menjadi malaikat sehingga tidak lagi berbuat salah? Para Ulama menyimpulkan bahwa hadits tidak dimaksudkan bahwa jika sngan ikhlas lalu tidak akan lagi terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Bukankah kesalahan itu sendiri adalah ciri khusus yang tidak terpisahkan dari hidup manusia? Bakan terkadang menjadi ciri ketakwaan, asal saja diikuti dengan "pengakuan dan permohonan ampun" (Dan orang-orang yang jika melakukan kekejian atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka ingat Allah dan mereka beristghfar memohon ampunan untuk dosa-dosa mereka). Pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman terhadap sesama Mu''min, selama tidak diyakini bahwa membunuh itu adalah "halal" dianggap sebagai "kabirah" atau dosa besar. Jika dalam kehidupannya tidak segera disusuli dengan "Taubat" maka jelas kata Allah, akibatnya adalah Jahannam kekal di dalamnya. Kekal di sini adalah kekal dalam arti waktu yang cukup lama. Sebagaimana Allah berfirman: "Khaalidiina fiiha ahqaaba" (mereka kekal di dalamnya dalam beberapa fase yang lama) (An Naba). Artinya kekalnya seorang pendosa Muslim pasti berbeda dengan kekalnya seorang yang memang secara "I''tiqaad" tidak beriman. Sebab jika sama, lalu di mana kita dudukkan sifat Allah yang Maha Adil? Tentu banyak contoh yang dapat kita ajukan. Namun kesimpulan yang akan diambil adalah bahwa kekafiran itu ada dua macamnya. Justeru kita harus berhati-hati melabelkan kekafiran kepada sesama Muslim, terlepas dari perilaku yang dialkukannya. Karena sesungguhnya hati dan nuraninya hanya dia dan Allah yang tahu. Maka kalau kita kembali kepada cerita di awal tulisan ini, memang seharusnya kita berhati-hati. Jangan-jangan kita mengkafirkan seseorang, padahal dalam dirinya masih terbersit serpihan iman sekecil apapun. Jika ini terjadi, maka sesungguhnya kita sudah melakukan pelanggaran ketuhanan, sebab hak menilai iman dan kafirnya seseorang hanyalah hak Allah Yang Maha Tahu. Wallahu a''lam!
PARIBASAN JAWI


Adigang, adigung, adiguna - Ngandelaké kakuwatané, kaluhurané, lan kapinterané.

Bathok bolu isi madu - Wong asor nanging sugih kapinteran.

Becik ketitik ala ketara - becik lan ala bakalan ketara ing mburiné

Dhemit ora ndulit, setan ora doyan - Tansah diparingi slamet ora ana kang ngrusuhi

Emban cindhé emban siladan - Pilih kasih ora adil

Enggon welut didoli udhet - Panggoné wong pinter dipameri kapinteran sing ora sepirowa

Gupak puluté ora mangan nangkané - Mélu rekasa nanging ora mélu ngarakaké kepénaké

Jer Basuki mawa béa - Samubarang gegayuhan mbutuhaké wragat

Kacang ora ninggal lanjaran - Anak niru wong tuwané

Kaya banyu karo lenga - Wong kang ora bisa rukun

Kebo nusu gudél - wong tuwa njaluk wuruk marang wong enom

Kegedhen empyak kurang cagak - Kegedhén kakarepan nanging kurang sembada

Kuthuk marani sunduk - Ula marani gepuk - Marani bebaya

Maju tatu mundur ajur - Prakara kang sarwa pakéwuh

Nabok Nyilih tangan - Tumindak ala kanthi kongkonan wong liya

Pupur sakdurungé benjut - Ngati ati mumpung durung cilaka

Sapa Sing salah bakal séléh - Sapa sing salah bakal konangan

Tumbak cucukan - Wong kang seneng adu-adu

Tulung Menthung - ditulungi malah ngrusuhi

Wiwit kuncung nganti gelung - Wiwit cilik nganti tuwa

Yuyu rumpung mbarong rongé - Omahé magrong2 nanging sejatiné mlarat

Anak polah bapa kepradhah : Wong tuwo nemu ribed amarga polahe anak

Andhang andhang tetesing embun : Njagakake barang mung saolehe bae

Ancik ancik pucuking eri : Wong kang tansah sumelang yen kaluputan

Bathok bolu isi madu : Wong asor nanging sugih kapinteran

Bebek mungsuh mliwis : Wong pinter mungsuh wong pinter

Bubuk oleh leng : Duwe niyat ala oleh dalan

Cebol nggayuh lintang : Duwe kekarepan sing mokal bakal kelakon

Cecak nguntal empyak : Gegayuhan sing ora timbang karo kekuatane

Cedhak celeng boloten : Cedhak karo wong ala njalari katut ala

Desa mawa cara,negara mawa tata : Saben panggonan duweni pengadatan dhewe dhewe

Diwenehi ati ngrogoh rempela : Diwenehi sathithik nyuwun sing akeh

Dudu berase ditempurake : Nyambung guneme liyan nanging ora gathuk

Emprit ambuntut bedhug : Prakara sepele dadi gedhe

Endhas gundhul dikepeti : Wis kepenak ditambahi luwih kepenak maneh

Esuk dhele sore tempe : Ora manteban ati ( mencla mencle )

Gajah alingan suket teki : Lair karo batine beda banget,mesti bakal ketara

Golek uceng kelangan dheleg : Golek sathithik malah kelangan sing akeh

Gupak pulute ora mangan nangkane : Melu rekasane ora melu kepenake

Iwak klebu ing wuwu : Kena apus kanthi gampang banget

Idu didilat maneh : Njabel gunem sing wis kawetu

Jarit luwas ing sampiran : Wong duwe kapinteran nanging ora digunakake

Jati ketlusuban ruyung : Golongane wong becik kelebon wong ala

Jer basuki mawa beya : Kabeh gegayuhan butuh wragad

Rabu, 01 Juni 2011

Perih Menyayat Hati II

Luka itu terasa teriris perih menyayat hati. Sosoknya perempuan yang sederhana, selalu tersenyum namun rapuh. Sekian tahun lalu dirinya berpisah dengan suaminya, tidak pernah dia membayangkan pernikahan itu hancur begitu saja tanpa disadari. Suami terpikat dengan perempuan lain. Disaat dirinya tersadar, semua terlambat, palu telah diketuk dan dia menjalani hari-harinya dengan luka perih dihati, hanya putri yang masih kecil ikut bersamanya. Harta, rumah, deposito bahkan mobil dibawa oleh sang suami. Derita itu seolah tak ujung, dengan bercucuran air mata dalam kesendirian harus menjaga putrinya yang tengah terbaring lemah di rumah sakit dan ketika putrinya bertanya, 'Ma, ayah mana? Kok nggak nengok putri?' Kata-kata yang keluar dari bibir mungil tak mampu dijawabnya, hanya isak tangis yang terdengar. Setelah sepekan menunggu di Rumah Sakit, dirinya menyaksikan bagaimana putri yang dicintainya menghembuskan napas terakhir. Didekap dalam pelukan. Tak kuasa untuk bisa menahan derita bagaimana harus menjalani hidup.

Sejak itu, dia selalu mengurung diri dalam kamar. Tak peduli siang, malam. Hari terus berlalu, yang ada hanyalah mengusap air mata dalam kesendirian, diam membisu dalam doa. 'Ya Allah, dimanakah Engkau? Kenapa Engkau timpakan ini semua kepadaku?' Dua bulan berlalu begitu cepat, wajahnya terlihat lebih kurus, tanpa makan dan hanya sedikit minum. Mukena yang dipakainya sudah terlihat usang. Bibirnya mengering sudah tidak lagi teringat berapa kali istighfar diucapkan. Memohon ampun kepada Allah. Ditengah kondisi tubuhnya melemah, seorang ibu datang menyuapi dirinya dengan bubur ayam. Kata-katanya begitu menguatkan hati, tidak mampu berkata apa-apa, hanya terisak tangis pilu. Pada saat itulah dirinya belajar untuk menerima realitas hidup. Kedatangan dirinya bersama seorang sahabat ke Rumah Amalia untuk bershodaqoh dengan berharap Allah menyembuhkan luka dihatinya.

Dirasakan di dalam hatinya terasa ada kehangatan yang mengalir, memberikan kesejukan dan ketenteraman. Dia tahu, bahwa dirinya tidak sendiri, banyak perempuan yang mengalami seperti dirinya. Dia merasakan luka itu perlahan-lahan sembuh. Berulang kali mengucapkan syukur alhamdulillah, seolah dia mengerti maksud Allah, menjadi lebih mengerti kasih sayang Allah kepada dirinya. Yang manis mampu membuatnya tersenyum, kepahitan tidak lagi mampu membuat hatinya terluka. Dirinya tidak lagi terjebak pada masa lalu dan tidak menyesali apa yang telah terjadi. 'Saya yakin Allah, memberikan yang terbaik bagi setiap hambaNya.' tuturnya sore itu di Rumah Amalia. Wajahnya berbinar penuh senyuman. Kebahagiaan itu hadir di dalam hatinya dalam keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

'Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah sedang dia orang yang berbuat kebaikan maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.' (QS. Luqman : 22).

Perih Menyayat Hati

Luka itu terasa teriris perih menyayat hati. Sosoknya perempuan yang sederhana, selalu tersenyum namun rapuh. Sekian tahun lalu dirinya berpisah dengan suaminya, tidak pernah dia membayangkan pernikahan itu hancur begitu saja tanpa disadari. Suami terpikat dengan perempuan lain. Disaat dirinya tersadar, semua terlambat, palu telah diketuk dan dia menjalani hari-harinya dengan luka perih dihati, hanya putri yang masih kecil ikut bersamanya. Harta, rumah, deposito bahkan mobil dibawa oleh sang suami. Derita itu seolah tak ujung, dengan bercucuran air mata dalam kesendirian harus menjaga putrinya yang tengah terbaring lemah di rumah sakit dan ketika putrinya bertanya, 'Ma, ayah mana? Kok nggak nengok putri?' Kata-kata yang keluar dari bibir mungil tak mampu dijawabnya, hanya isak tangis yang terdengar. Setelah sepekan menunggu di Rumah Sakit, dirinya menyaksikan bagaimana putri yang dicintainya menghembuskan napas terakhir. Didekap dalam pelukan. Tak kuasa untuk bisa menahan derita bagaimana harus menjalani hidup.

Sejak itu, dia selalu mengurung diri dalam kamar. Tak peduli siang, malam. Hari terus berlalu, yang ada hanyalah mengusap air mata dalam kesendirian, diam membisu dalam doa. 'Ya Allah, dimanakah Engkau? Kenapa Engkau timpakan ini semua kepadaku?' Dua bulan berlalu begitu cepat, wajahnya terlihat lebih kurus, tanpa makan dan hanya sedikit minum. Mukena yang dipakainya sudah terlihat usang. Bibirnya mengering sudah tidak lagi teringat berapa kali istighfar diucapkan. Memohon ampun kepada Allah. Ditengah kondisi tubuhnya melemah, seorang ibu datang menyuapi dirinya dengan bubur ayam. Kata-katanya begitu menguatkan hati, tidak mampu berkata apa-apa, hanya terisak tangis pilu. Pada saat itulah dirinya belajar untuk menerima realitas hidup. Kedatangan dirinya bersama seorang sahabat ke Rumah Amalia untuk bershodaqoh dengan berharap Allah menyembuhkan luka dihatinya.

Dirasakan di dalam hatinya terasa ada kehangatan yang mengalir, memberikan kesejukan dan ketenteraman. Dia tahu, bahwa dirinya tidak sendiri, banyak perempuan yang mengalami seperti dirinya. Dia merasakan luka itu perlahan-lahan sembuh. Berulang kali mengucapkan syukur alhamdulillah, seolah dia mengerti maksud Allah, menjadi lebih mengerti kasih sayang Allah kepada dirinya. Yang manis mampu membuatnya tersenyum, kepahitan tidak lagi mampu membuat hatinya terluka. Dirinya tidak lagi terjebak pada masa lalu dan tidak menyesali apa yang telah terjadi. 'Saya yakin Allah, memberikan yang terbaik bagi setiap hambaNya.' tuturnya sore itu di Rumah Amalia. Wajahnya berbinar penuh senyuman. Kebahagiaan itu hadir di dalam hatinya dalam keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

'Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah sedang dia orang yang berbuat kebaikan maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.' (QS. Luqman : 22).